Pages

Friday, September 7, 2018

Efek Beragun Aset

Untuk berkembang dengan baik perusahaan sering kali membutuhkan pendanaan dari luar laba usaha. Selama ini pendanaan eskternal yang paling sering digunakan adalah pinjaman dan modal dari pemegang saham. Namun seiring berkembangnya perekonomian, dibutuhkan sumber-sumber pendanaan eksternal baru di luar kedua sumber tersebut. 

Kebutuhan sumber pendanaan baru ini muncul karena semakin banyak pinjaman akan menyebabkan rasio utang perusahaan semakin tinggi. Apabila rasio utang melewati batas tertentu, nilai perusahaan akan menurun di mata kreditur dan investor. Penambahan modal juga tidak dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan yang sifatnya rutin, karena kemampuan pemegang saham untuk menambah modal ada batasnya. Apabila penambahan modal dilakukan dengan menerbitkan saham kepada pihak di luar pemegang saham yang ada, kepemilikan para pemegang saham akan terdilusi.

Dengan semakin berkembangnya Pasar Modal, sumber-sumber pendanaan perusahaan semakin bertambah jenisnya. Selain menyediakan pinjaman dan tambahan modal, Pasar Modal juga menyediakan sumber pendanaan lain seperti skema penerbitan Efek Beragun Aset. Melalui skema penerbitan Efek Beragun Aset, perusahaan mendapat dana dengan cara menjual aset-aset keuangannya kepada suatu Special Purpose Vehicle (SPV), dimana SPV tersebut menerbitkan efek-efek kepada para pemodal. Efek-efek yang diterbitkan oleh SPV inilah yang disebut dengan Efek Beragun Aset (EBA).

Untuk memberikan aturan main yang jelas bagi penerbitan EBA, pada tahun 1997 regulator Pasar Modal Indonesia menerbitkan seperangkat peraturan tentang EBA. Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan industri yang terus berkembang, OJK telah merevisi dan menerbitkan peraturan-peraturan baru mengenai EBA. Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerbitkan EBA dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan investor.

Peraturan-peraturan terkait EBA yang berlaku saat ini adalah Peraturan OJK (POJK) No. 65/POJK.04/2017 tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, POJK No. 20/POJK.04/2017 tentang Perubahan Atas POJK No. 23/POJK.04/2014, POJK No. 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan EBA Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, dan POJK No. 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah.

Secara umum mekanisme penerbitan EBA dapat dilihat pada gambar berikut:


Sebagaimana terlihat dari gambar di atas, pemilik asset (selanjutnya disebut kreditur asal/ originator) menjual aset keuangannya kepada SPV, dimana SPV mendapatkan dana untuk membeli aset tersebut dengan menerbitkan Efek Beragun Aset kepada investor. Setelah kreditur asal menjual aset keuangannya kepada SPV, maka arus kas yang melekat pada asset keuangan tersebut tidak lagi menjadi milik kreditur asal namun menjadi milik SPV. Selanjutnya SPV akan menyerahkan kas tersebut kepada investor dalam bentuk pembayaran bunga.

Aset keuangan yang dapat menjadi portofolio SPV penerbit EBA adalah (i) tagihan yang ada saat ini, (ii) tagihan yang timbul di kemudian hari, (ii) arus kas masa mendatang atau surat berharga hak atas arus kas masa mendatang, (iv) pendapatan di masa mendatang atau surat berharga hak atas pendapatan di masa mendatang, (v) surat berharga komersial (termasuk efek bersifat utang yang dijamin pemerintah), (vi) sarana Peningkatan Kredit, dan (vii) aset keuangan setara atau aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut.

Penerbitan EBA melibatkan beberapa pihak sebagai berikut:

a. Kreditur Awal / Originator

Kreditur Awal / Originator adalah Pihak yang telah mengalihkan aset keuangannya kepada para pemegang Efek Beragun Aset secara kolektif dimana aset keuangan tersebut diperoleh Pihak yang bersangkutan karena pemberian pinjaman, penjualan, dan/atau pemberian jasa lain yang berkaitan dengan usahanya.

Keuntungan yang diterima kreditur awal dari skema penerbitan EBA adalah mendapatkan kas dengan lebih cepat. Dengan adanya kas yang lebih cepat, kreditur awal dapat meningkatkan volume transaksi sehingga keuntungan pada akhir tahun akan meningkat pesat. Sebagai ilustrasi, saat ini Bank Purna memiliki tagihan sebesar Rp. 5 triliun, yang jatuh tempo Rp. 1 triliun per tahun selama 5 tahun. Tanpa memanfaatkan skema EBA, Bank Purna hanya bisa menyalurkan KPR baru sebanyak Rp. 1 triliun per tahun karena harus menunggu pencairan dari KPR yang telah ada. Dengan skema EBA, Bank Purna bisa segera mendapatkan Rp. 5 triliun sekaligus, sehingga dalam 1 tahun dapat menyalurkan KPR baru lebih banyak lagi.


b. Special Purpose Vehicle (SPV)

SPV adalah wadah untuk menampung dana investor yang selanjutnya menggunakan dana tersebut untuk membeli aset-aset keuangan dari kreditur asal. Di Amerika Serikat, bentuk hukum SPV adalah trust atau perusahaan. Di Indonesia, bentuk hukum yang paling sering digunakan adalah Kontrak Investasi Kolektif (KIK), yaitu kontrak antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian. Bentuk KIK dipandang lebih luwes dibanding Perseroan Terbatas antara lain karena KIK tidak wajib memiliki organ-organ yang diwajibkan bagi PT, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan RUPS. Selain itu, KIK memiliki keunggulan fasilitas pajak. Berdasarkan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, imbal hasil yang diterima oleh pemegang unit penyertaan KIK bukan merupakan objek pajak.

Selain bentuk KIK, SPV di Indonesia dapat memiliki bentuk lain yaitu SPV penerbit Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (SPV penerbit EBA-SP). Berbeda dengan KIK EBA yang pengelolanya adalah Manajer Investasi, SPV penerbit EBA-SP dikelola oleh perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan sekunder perumahan. Berbeda dengan KIK EBA yang dapat berinvestasi pada berbagai macam aset keuangan, SPV penerbit EBA-SP hanya dapat berinvestasi pada tagihan pembiayaan perumahan.


c. Investor

Investor adalah pihak yang membeli Efek Beragun Aset (EBA). EBA memberikan beberapa keuntungan bagi investor. Keuntungan pertama adalah adanya pilihan investasi yang lebih beragam bagi investor. Keuntungan kedua adalah adanya potensi return yang lebih tinggi dibanding obligasi. Potensi return EBA lebih tinggi dari obligasi karena SPV EBA berinvestasi langsung pada aset produktif suatu perusahaan dan bukan pada obligasi perusahaan pemilik aset produktif tersebut. Sebagai ilustrasi, Bank Bakti menyalurkan KPR dengan tingkat bunga 12% per tahun. Untuk membiayai penyaluran KPR, Bank Bakti menerbitkan obligasi. Agar Bank Bakti mendapat keuntungan, tentunya bunga obligasi yang diterbitkannya harus lebih kecil dari 12%. Karena EBA berinvestasi pada tagihan-tagihan KPR Bank Bakti, maka keuntungan jika investor berinvestasi pada EBA akan lebih besar dibanding jika investor berinvestasi pada obligasi Bank Bakti.


d. Penyedia Jasa / Servicer

Penyedia Jasa atau Services adalah pihak yang menatausahakan tagihan-tagihan yang menjadi portofolio investasi SPV. Penyedia Jasa bertanggung jawab untuk memproses dan mengawasi pembayaran yang dilakukan debitur, melakukan tindakan yang diperlukan jika debitur terlambat atau gagal memenuhi kewajibannya, dan memberikan jasa lain yang ditetapkan dalam kontrak.

Pada umumnya pihak yang menjadi penyedia jasa tidak lain adalah kreditur awal sendiri. Hal ini karena kreditur awal telah memiliki database para debitur dan memiliki infrastruktur yang dibutuhkan untuk menatausahakan tagihan-tagihannya.

Di dalam skema penerbitan EBA, SPV penerbit EBA wajib memperoleh aset keuangan melalui jual beli atau tukar menukar putus (true sale). Dalam kondisi true sale, kreditur awal mengalihkan semua hak serta kewajiban terkait aset keuangan kepada SPV penerbit EBA dan dilarang menahan setiap manfaat dari aset keuangan tersebut. Selain itu, dalam kondisi true sale, aset keuangan harus dipastikan terpisah dari aset kreditur awal. Kewajiban true sale ini dimaksudkan untuk meyakini bahwa aset keuangan yang dialihkan kepada SPV penerbit EBA tidak akan masuk dalam boedel pailit dalam hal kreditur awal pailit. Untuk meyakini terjadinya kondisi true sale, Peraturan OJK mewajibkan adanya opini konsultan hukum yang menyatakan bahwa transaksi pengalihan aset keuangan dari kreditur awal kepada SPV merupakan transaksi true sale.

Perpajakan EBA 

Untuk melengkapi pembahasan mengenai EBA, berikut dijelaskan aspek perpajakan EBA. Perpajakan EBA dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu perpajakan yang ditanggung SPV penerbit EBA dan perpajakan yang ditanggung investor EBA.  

a.   Pajak yang ditanggung SPV EBA 

Penghasilan yang diterima SPV EBA berasal dari bunga/diskonto piutang dan efek bersifat utang. Dalam hal penghasilan tersebut berasal dari piutang, maka penghasilan berupa bunga/diskonto tersebut dimasukan dalam perhitungan penghasilan kena pajak akhir tahun EBA dan dikenakan tarif umum. Dalam hal penghasilan tersebut berasal dari efek bersifat utang, bunga/diskonto tersebut dikenakan pajak yang bersifat final.

b.   Pajak yang ditanggung investor EBA 

Untuk meningkatkan nilai jual EBA, seringkali SPV penerbit EBA menerbitkan 2 kelas EBA, yaitu kelas A dan kelas B. Kelas A memberikan pembayaran bunga yang tetap kepada pemegangnya (arus kas tetap), sedangkan kelas B memberikan pembayaran bunga yang tidak tetap (arus kas tidak tetap).

Penghasilan yang diterima investor EBA dapat berasal dari (i) bunga maupun dari (ii) keuntungan atas penjualan unit penyertaan EBA.

(i) Untuk pajak atas bunga, mengingat EBA kelas A memberikan arus kas yang tetap kepada investornya maka perlakuan pajaknya disamakan dengan perlakuan pajak atas surat utang, yaitu jika pemegang EBA kelas A adalah :

-           - wajib pajak dalam negeri selain Reksa Dana, maka tarif pajaknya adalah 15%.

-         - Reksa Dana, maka tarif pajaknya adalah 5% untuk tahun 2014 - 2020 dan 10% untuk tahun 2021 dan seterusnya.

-        - investor asing, maka tarif pajaknya adalah 20% atau sesuai persetujuan penghindaran pajak berganda dengan negara investor asing tersebut. 

Adapun EBA kelas B, karena tidak memberikan arus kas yang tetap maka perlakuan pajak atas bunganya sama dengan perlakuan pajak atas unit penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, yaitu tidak dikenakan pajak.  

(ii) Untuk pajak atas keuntungan dari penjualan EBA, perlakuan pajaknya dibagi menjadi 2 berdasarkan tempat dimana transaksi dilakukan. Jika transaksi dilakukan di luar Bursa Efek, keuntungan dari transaksi tersebut dimasukan dalam perhitungan penghasilan kena pajak akhir tahun dan dikenakan tarif umum. Sedangkan jika transaksi dilakukan di Bursa Efek, maka dikenakan pajak final sebesar 0,1% dari nilai penjualan EBA.


Kebijakan Untuk Mendukung Permintaan Terhadap EBA 

Selain menerbitkan peraturan mengenai penerbitan KIK EBA, OJK juga menerbitkan beberapa peraturan ataupun surat yang mendukung sisi permintaan terhadap KIK EBA. Peraturan-peraturan tersebut adalah :

a.  Surat Kepala Eksekutif Pengawas IKNB No. S-8 / D.05/2015 tanggal 11 Februari 2015 perihal Penempatan Investasi pada Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) yang Diterbitkan oleh Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan.

Surat ini menegaskan bahwa EBA SP dan unit penyertaan KIK EBA merupakan instrumen investasi yang diperkenankan pada industri asuransi, dana pensiun BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan.  

b.  POJK Nomor 56/POJK.05/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

Peraturan menyatakan bahwa Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat memenuhi ketentuan batas minimum penempatan investasi SBN dengan melakukan investasi antara lain pada EBA yang penggunaan dananya untuk pembiayaan infrastruktur yang dilakukan BUMN, BUMD, dan/atau anak perusahaan dari BUMN.

c.   POJK 23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.

Peraturan ini meningkatkan proporsi investasi Reksa Dana di EBA Penawaran Umum dari 10% NAB menjadi 20% NAB. Peraturan ini juga meningkatkan proporsi investasi Reksa Dana di efek Non Penawaran Umum (termasuk EBA non penawaran umum) dari 0% NAB menjadi 15% NAB.  



Dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap EBA, diharapkan semakin banyak bank, perusahaan pembiayaan dan berbagai perusahaan lain yang memanfaatkan EBA untuk mendanai kegiatan usahanya. Untuk kepentingan nasional, EBA juga diharapkan dapat menutup funding gap pembangunan infrastruktur pemerintah Republik Indonesia. 







5 comments:

  1. Sangat informatif pak Made. Menjadi bahan inspirasi untuk tulisan kami berikutnya. Salam

    ReplyDelete
  2. Pak, terima kasih atas tulisan yang luar biasa bermanfaat ini. Jika boleh tau, apakah ada link untuk jurnal yang menerbitkan tulisan ini? karena saya ingin mengutipnya dalam skripsi saya. Mohon bantuannya. Terima kasih.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih Sabrina,

    Saya tidak punya link nya, tetapi saya ada hard copy.

    Bisa saya dapat email Shabrina? Nanti saya bisa kirimkan scan halaman cover dan halaman daftar isi.


    Terima kasih

    Made Tirthayatra

    ReplyDelete
  4. Dengan senang hati, pak. Ini email saya shabrinasymln@gmail.com terima kasih pak atas niat baiknya :D

    ReplyDelete