Pages

Saturday, June 20, 2009

Beberapa Perbedaan Antara UU PT Tahun 2007 Dengan UU PT Tahun 1995

Pada tanggal 16 Agustus 2007 Pemerintah mengesahkan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas yang baru, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (UU PT Tahun 2007). Undang-undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 (UU PT Tahun 1995). Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara UU PT Tahun 2007 dengan UU PT Tahun 1995.
Sebagian besar bahan yang digunakan untuk tulisan ini merupakan bahan-bahan yang disampaikan pada acara Pembahasan Lebih Lanjut Relevansi UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Terhadap Perkembangan Pasar Modal, yang diselenggarakan di Bursa Efek Jakarta, pada 28 September 2007.


1. Jumlah Pemegang Saham Perseroan Terbatas

Pada Pasal 7 UU PT Tahun 1995 disebutkan bahwa Perseroan wajib didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Namun demikian, UU tersebut juga menyebutkan bahwa kewajiban untuk didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih tersebut tidak berlaku bagi Perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana pemiliknya boleh hanya 1 (satu).

Seperti halnya pada UU PT Tahun 1995, pada Pasal 7 UU PT Tahun 2007 juga terdapat kewajiban bagi Perseroan untuk didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Namun demikian, berbeda dengan UU PT Tahun 1995, dalam UU PT Tahun 2007 pengecualian bukan hanya diberikan kepada BUMN namun juga kepada Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian dan lembaga lain yang diatur dalam Undang Undang tentang Pasar Modal.

BUMN, Perseroan yang mengelola Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian dan lembaga lain yang diatur dalam Undang Undang tentang Pasar Modal dikecualikan dari peraturan ini karena status dan karakteristiknya yang khusus, sehingga persyaratan jumlah pendirinya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.


2. Perusahaan Publik


UU PT Tahun 1995 tidak mengatur mengenai kewajiban bagi Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai perusahaan publik untuk menyampaikan pernyataan pendaftaran.

UU PT Tahun 2007 mewajibkan Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai perusahaan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, untuk mengubah anggaran dasarnya, yaitu mengubah status dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka, dan mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.


3. Jumlah Modal Dasar

Secara umum tidak terdapat perubahan mendasar mengenai permodalan perseroan kecuali peningkatan modal dasar minimal dari Rp. 20 juta menjadi Rp. 50 juta.

Pasal 25 dan Pasal 26 UU PT tahun 1995 menyatakan bahwa Modal Dasar perseroan paling sedikit adalah Rp. 20 juta, pada saat pendirian paling sedikit 25% dari modal dasar harus telah ditempatkan, dan pada saat pendirian penempatan modal telah disetor paling sedikit 50% dari nilai nominal setiap saham yang dikeluarkan. Seluruh saham yang telah dikeluarkan harus disetor penuh pada saat pengesahan perseroan.

Pasal 32 dan Pasal 33 UU PT Tahun 2007 menyatakan bahwa Modal Dasar perseroan paling sedikit adalah Rp. 50 juta, dan seperti UU PT Tahun 1995, paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh.


4. Hak Tagih terhadap Perseroan yang dapat dikompensasi menjadi saham

Pasal 28 ayat (1) UU PT Tahun 1995 menyatakan bahwa pemegang saham yang mempunyai tagihan terhadap Perseroan tidak dapat menggunakan hak tagihanya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga sahamnya. Namun demikian Pasal 28 ayat (2) memberikan pengecualian bahwa bentuk-bentuk tagihan tertentu dapat dikompensasi sebagai setoran saham dengan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam pelaksanaannya Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan adalah Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Tagihan Tertentu Yang Dapat Dikompensasikan Sebagai Setoran Saham, yang isinya menyatakan bahwa hak tagih yang dapat dikompensasi adalah hak tagih yang timbul karena :

- Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau benda tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang;

- Pihak yang menjadi penanggung atau penjamin utang Perseroan telah membayar lunas utang Perseroan sebesar yang ditanggung atau dijamin; atau

- Perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dari pihak ketiga dan Perseroan telah menerima manfaat berupa uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang langsung atau tidak langsung secara nyata telah diterima Perseroan


Pasal 35 ayat (1) UU PT Tahun 2007 menyatakan bahwa pemegang saham dan kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap Perseroan dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga saham yang telah diambilnya, sepanjang disetujui oleh RUPS. Selanjutnya Pasal 35 ayat (2) memuat kriteria hak tagih yang dapat dikompensasi menjadi saham, yang isinya mengakomodasi isi dari Peraturan Pemerintah No. 15 tersebut di atas.


Sekilas tidak terlihat ada perbedaan yang signifikan antara UU PT Tahun 1995 dengan UU PT Tahun 2007, karena meskipun pada UU PT Tahun 1995 tidak terdapat kriteria hak tagih yang dapat dikompensasi menjadi saham namun hal ini dijelaskan dalam Peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, apabila ditelaah sampai dengan pasal penjelasan, terlihat adanya perbedaan yang sangat signifikan. Penjelasan Pasal 35 ayat (2) UU PT Tahun 2007 menyebutkan bahwa bunga dan denda yang terutang, sekalipun telah jatuh tempo dan harus dibayar, tidak dapat dikompensasikan sebagai setoran saham karena secara nyata tidak diterima oleh Perseroan. Penjelasan ini memiliki pengaruh yang besar karena dalam peraturan perundangan yang menjadi acuan sebelumnya, yaitu UU PT Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1999, tidak terdapat larangan untuk mengkompensasi bunga dan denda terutang menjadi saham.


5. Larangan Mengeluarkan Saham Untuk Dimiliki Sendiri

Pasal 29 ayat (1) UU PT Tahun 1995 melarang Perseroan mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri, ataupun untuk dimiliki anak perusahaan. Larangan ini berlaku untuk semua perusahaan tanpa pengecuali.

Seperti halnya UU PT tahun 1995, Pasal 36 UU PT tahun 2007 juga melarang Perseroan mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan. Namun demikian berbeda dengan UU PT Tahun 1995 yang tidak memberikan pengecualian apapun, Pasal 36 ayat (4) UU PT Tahun 2007 memberikan pengecualian bahwa dalam hal Perseroan lain tersebut adalah perusahaan efek, maka berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Dengan adanya pengecualian ini maka suatu anak perusahaan, apabila merupakan perusahaan efek, dimungkinkan untuk membeli saham yang dikeluarkan induknya. Pengecualian ini diberikan guna mengakomodasi kemungkinan anak perusahaan yang merupakan perusahaan efek bertindak sebagai stand by buyer dalam penawaran umum yang dilakukan perseroan induknya.


6. Pembelian Kembali Saham

Pasal 30 UU PT 1995 menyatakan bahwa pembelian kembali saham harus dibayar dari laba bersih, dan tidak terdapat pembatasan berapa lama saham yang dibeli kembali tersebut boleh dikuasai perseroan. Pasal 30 ini juga menyatakan bahwa jumlah nilai nominal saham yang dimiliki Perseroan dan anak perusahaan tidak boleh melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan. Selanjutnya, Pasal 31 UU PT Tahun 1995 menyatakan bahwa pembelian kembali saham atau pengalihannya lebih lanjut hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS.

Berbeda dengan UU PT Tahun 1995, pada UU PT 2007 tidak terdapat kewajiban untuk menggunakan laba bersih sebagai sumber dana pembelian kembali. Sehubungan dengan pembatasan periode penguasaan saham yang diperoleh kembali, Pasal 37 UU PT Tahun 2007 memberikan batasan bahwa saham yang dibeli kembali oleh Perseroan hanya boleh dikuasai paling lama 3 (tiga) tahun.

Dalam penjelasan pasal 37 tersebut disebutkan bahwa jangka waktu 3 (tiga) tahun dimaksudkan agar Perseroan dapat menentukan apakah saham tersebut akan dijual atau ditarik kembali dengan cara pengurangan modal.

Sehubungan dengan perlunya persetujuan RUPS untuk pembelian kembali saham atau pengalihannya lebih lanjut, dan adanya pembatasan pembelian kembali saham untuk tidak melebihi 10% dari jumlah modal ditempatkan, dalam UU PT Tahun 2007 dinyatakan bahwa persetujuan RUPS dan pembatasan tersebut diwajibkan sepanjang tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.


7. Nilai Nominal

Pasal 42 UU PT Tahun 1995 menyatakan bahwa saham wajib memiliki nilai nominal.

Dalam Pasal 49 ayat (2), UU PT 2007 juga menyatakan bahwa saham wajib memiliki nilai nominal. Namun demikian, berbeda dengan UU PT Tahun 1995 yang sama sekali tidak memberi ruang untuk penerbitan saham tanpa nilai nominal, dalam Pasal 49 ayat (3) UU PT Tahun 2007 dinyatakan bahwa tidak ditutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur pengeluaran saham tanpa nilai nominal.

Dibukanya peluang bagi peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal untuk mengatur pengeluaran saham tanpa nilai nominal adalah karena saham tanpa nilai nominal telah menjadi kebutuhan di Pasar Modal. Pada krisis ekonomi tahun 1997, banyak saham yang nilai pasarnya turun sampai di bawah nilai nominal. Meskipun tidak sebanyak ketika krisis ekonomi tersebut, sampai saat ini masih terdapat beberapa perusahaan yang nilai pasarnya di bawah nilai nominal. Apabila perusahaan-perusahaan tersebut bermaksud menambah modalnya melalui penerbitan saham baru, maka akan muncul kendala karena di satu pihak Undang Undang tentang Perseroan Terbatas mewajibkan penerbitan saham baru untuk disetor penuh, dan di pihak lain harga pasar saham tersebut sudah di bawah nilai nominal sehingga tidak akan laku apabila ditawarkan pada atau di atas nilai nominal. Karena UU PT Tahun 1995 tidak memungkinkan diterbitkannya saham tanpa nilai nominal, maka untuk mengatasi kendala sebagaimana disebutkan di atas beberapa Emiten telah mengeluarkan saham dengan nilai nominal baru yang lebih kecil dari nilai nominal saham yang telah beredar. Mengingat perbedaan nilai nominal tersebut tidak menyebabkan perbedaan hak suara, maka terdapat kemungkinan pemegang saham yang memiliki nilai nominal lebih tinggi merasa dirugikan karena hak suara ataupun hak atas dividen yang melekat pada saham miliknya dianggap sama dengan hak suara ataupun hak dividen yang melekat pada saham dengan nilai nominal yang lebih rendah. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka dibuka peluang peraturan perundang-undangan di Pasar Modal mengatur mengenai pengeluaran saham tanpa nilai nominal.


8. Rencana Kerja

UU PT Tahun 1995 tidak mewajibkan Direksi untuk menyampaikan Rencana Kerja.

UU PT Tahun 2007, melalui Pasal 63 sampai dengan Pasal 65, mengatur mengenai Rencana Kerja. Dalam UU PT Tahun 2007 disebutkan antara lain bahwa Direksi menyusun rencana kerja tahunan, yang juga memuat anggaran tahunan, Perseroan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang. UU PT Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa Anggaran Dasar dapat menentukan apakah rencana kerja tersebut harus disampaikan atau harus mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris atau RUPS.



9. Kewajiban Audit Atas Laporan Keuangan Tahunan

Pasal 59 UU PT Tahun 1995 menyebutkan perusahaan yang laporan keuangan tahunannya wajib diaudit adalah apabila:

bidang usaha perseroan berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat

perseroan mengeluarkan surat pengakuan utang; atau

perseroan merupakan perusahaan terbuka


Pasal 68 UU PT Tahun 2007 menambahkan kriteria perusahaan yang laporan keuangan tahunannya wajib diaudit, selain kriteria yang telah disebut dalam pasal 59 UU PT Tahun 1995, yaitu perseroan mempunyai aset dan atau jumlah peredaran usaha sekurang-kurangnya Rp. 50 miliar, atau perseroan yang diwajibkan untuk diaudit oleh peraturan perundang-undangan.


10. Penggunaan Laba

Pasal 62, UU PT tahun 1995 menyatakan bahwa dalam hal RUPS tidak menentukan lain, laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen.

Seperti halnya UU PT Tahun 1995, Pasal 71 UU PT Tahun 2007 juga menyatakan bahwa menyatakan hal yang sama bahwa laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen. UU PT Tahun 2007 menambahkan bahwa dividen hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.


11. Jumlah Korum dalam RUPS

Sebagaimana terlihat pada Tabel Perbadingan Jumlah Korum, tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam penentuan jumlah korum dalam RUPS antara UU PT Tahun 1995 dengan UU PT Tahun 2007.

Adapun yang menjadi perbedaan adalah disebutkannya secara eksplisit jumlah korum untuk agenda Pemisahaan Usaha, dan Perpanjangan Jangka Waktu Berdirinya Perseroan pada UU PT Tahun 2007. Jumlah korum untuk Pemisahan Usaha tidak diatur dalam UU PT 1995, sedangkan dalam UU PT 2007 jumlah korumnya adalah ¾ dari seluruh saham dengan hak suara yang sah. Adapun untuk Perpanjangan Jangka Waktu Berdirinya Perseroan, UU PT 1995 tidak menyebut secara tersendiri. Namun demikian, mengingat Jangka Waktu Berdirinya Perseroan merupakan salah satu butir Anggaran Dasar, maka berdasarkan UU PT Tahun 1995 jumlah korum RUPS yang diperlukan untuk mengubahnya mengikuti jumlah korum yang diperlukan untuk mengubah Anggaran Dasar, yaitu 2/3 dari seluruh saham dengan hak suara yang sah. Pada UU PT 2007, korum untuk Perpanjangan Jangka Waktu Berdirinya Perseroan disebutkan secara tersendiri, yaitu ¾ dari seluruh saham dengan hak suara yang sah.


12. Dividen Interim

UU PT Tahun 1995 tidak menyebutkan secara khusus mengenai Dividen Interim. Sedangkan pada UU PT Tahun 2007, Dividen Interim diatur secara khusus pada Pasal 72. Pasal tersebut antara lain menyebutkan bahwa Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. Kemudian disebutkan pula bahwa dalam hal setelah tahun berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan.


13. Tanggung Jawab Sosial Perseroan

Hal yang baru pada UU PT Tahun 2007 adalah diaturnya tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perseroan. Pasal 77 UU tersebut menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Demikian beberapa perbedaan antara UU PT Tahun 2007 dengan UU PT Tahun 1995. Sebagaimana terlihat pada perbedaan-perbedaan tersebut, peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal diberikan beberapa peluang untuk mengeluarkan aturan yang berbeda dari apa yang telah diatur dalam Undang Undang tentang Perseroan Terbatas. Dengan peluang ini, Bapepam-LK selaku regulator di bidang pasar modal memiliki landasan kuat untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang dibutuhkan bagi perkembangan Pasar Modal Indonesia yang mana tidak dimungkinkan oleh Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas yang berlaku sebelumnya.


I Made B. Tirthayatra

Warta Bapepam, September 2007

-----------------------------------------------------------------------------

Daftar Pustaka:

1. Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

2. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15 Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Tagihan Tertentu Yang Dapat Dikompensasikan Sebagai Setoran Saham.

4. Simbolon, Robinson, Posisi Pasar Modal Dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, disampaikan dalam “Seminar Sehari Relevansi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Terhadap Perkembangan Pasar Modal”, Le Meridien Hotel, Jakarta, 11 September 2007

5. Bahan Presentasi Ratnawati W. Prasodjo, SH, pada acara “Pembahasan Lebih Lanjut Relevansi UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Terhadap Perkembangan Pasar Modal”, di Bursa Efek Jakarta, 28 September 2007.

No comments:

Post a Comment